Tuesday, June 20, 2006

Di tepi sebuah peron
Di sebuah stasiun perpisahan, kamu dan aku berdiri terpaku di antara dua jalur kereta yang hiruk-pikuk oleh temu dan pisah yang saling dorong dan berhimpitan. Dengan rindu yang berletupan serupa riak-riak api yang terkadang memercik akibat gesekan besi rel dan roda kereta kubaca wajahmu, disana tertuliskan cerita-cerita yang barangkali terjilidkan dengan judul gamang.
Gemuruh rel-rel yang tergilas oleh deru deras kereta yang gerbongnya tak kunjung selesai menutup pandangku padamu menghadirkan cemas di benakku sebelum pucuk gerbong terakhir menghilang dikelokan dan mengepulkan debu-debu perpisahan yang menghalau lambaian tangan diiringi rintihan panjang peluit kereta yang mulai menjauh.
Dan, ditepi peronmu apakah kamu pernah mengalami kesedihan yang begitu memuncak hingga nafasmu menyesakkanmu?
Jarak...betapa kosong diantara kita, betapa hendak kupotong panjangnya, kupatah kekarnya.
Ingin...ingin yang saling bertaut, saling bertalu, saling menyisir satu sama lain, mendebarkan dan saling berhitung hingga kulihat punggungmu yang berbalik memuaikan semua temu dan ingin.
...stasiun perpisahan...seumpama sebuah kamar tidur yang ditata penuh cinta dan privasi namun tak pernah ditiduri...yang dibangun untuk ditinggalkan.

Thursday, April 27, 2006

Selamat ulang tahun.

Kamu akhirnya berlalu
Menyisakan langit berawan yang mengendap di genang hujan pada aspal

Dari bangku taman yang sepi
Kutatap sosok dan asap rokok putihmu yang akhirnya larut bersama kabut
Melebur dalam buramnya senja jingga

Kelegaan perlahan turun penuhi seluruh rongga dadaku
mendorong semua kesedihan masuk ke dalam ruang kaca yang kedap
Kedap dari lelehan gumpalan ingatan akan dirimu dan diriku
Saat bersama kita…

Aku letih karena pergimu, letih memandang jejak pergimu
Tetapi segurat rona mentari di langit senja
Menguapkan semua letih menjadi burai yang datar
Lalu perlahan turun serupa debu

beberapa terbang terbawa angin
Menemanimu melaju entah kemana
Mungkin ke atmosfer senja yang berarak berganti malam
Mungkin ke lautan hindia lalu lebur bersama buih ombak
Ataupun hanya masuk dan meringkuk dalam kelam ruangmu
Yang pepat dan sunyi
Hanya kau dan kau saja yang paham

Beberapa debu tertelan olehku
Terhisap dalam helaan nafasku
Tesendat masuk dan mengalir dalam organku
Bulir-bulirnya perih menggesek
sebelum pergi dan mengalir keluar
Melalui pori-poriku

Sisa debu lainnya
Berdebam pelan di aspal dan memerciki kakiku
Tak ada lagi dingin darinya

Hanya itu yang tersisa dari bekumu...

Gerah oleh pengap yang menggumpal di tubuhku
Aku menguap dan beranjak dari bangku taman itu

Sesederhana kata, Sayonara…



Friday, February 17, 2006

Aurora, Aurora

Demikian mereka menggumamkan namamu

Memanggilmu yang terlelap jutaan waktu lamanya

dibungkus rajutan mimpi yang menyelimuti tidurmu


Aurora, Aurora

Lebih dari seorang dua pangeran datang dan pergi

Mengusik dan mencoba memboyongmu masuk ke dunia nyata

Sia-sia upayanya

kulai membingkai pejammu, lunglai memberatkan ragamu


Aurora, Aurora

Benang apakah yang menyulam mimpimu

Begitu kuat dan ketat seratnya mengikat

Hingga besi pada gunting teruncing sekalipun

Tak sanggup mematahkannya


Aurora, Aurora

Senyum bekumu mengigau berkata

kuhidup di dalam dekapan hangat selimut mimpiku”

Meredupkan belalak mata mereka yang bangun


Aurora, Aurora

Waktu terus berjalan dalam putaran hidup yang silih berganti

Kami tak bisa berlama-lama terpaku pada poros maya

Bangunlah


Aurora, Aurora

Semu hangatnya mimpi perlahan kan lelehkan jiwamu

Dan dia…tetap tak peduli sekalipun kau tidur lumer sampai mati


Aurora, Aurora

Bangunlah.

Lakon Tuhan


Layar panggung telah diangkat dan lampu menyorot ke satu arah

Pada si aktor pelakon Tuhan

Di tangan kanannya kitab segala kitab

Karya tulis maha dashyat, bertitah hukum pelakon Tuhan

Di tangan kirinya, pedang menyala

Siap menebas siapa yang menentang benaknya.

Pelan naik pasang wajahnya

Angkuh wataknya dalam riasan seorang hakim agung

Pertama dia kutuk para pelaku dosa

Baik dosa yang empat ataupun tujuh

mati kau semua binatang jalang tak tahu diuntung!”

Setebas dua pedangnya menghantam angin busuk nista mereka

Lima menit berikutnya, dia berlakon Tuhan hujatan Nietzche

Membuktikan dia belum mati

Diludahinya manna yang akan dia turunkan dari langit

Bukan sembarang ludah, tapi ludah paling berbisa

Katanya

kuberikan kau kematian nikmat dalam kenyang, daripada kau hidup dalam kelaparan”

Lima belas menit berikutnya

Ia buka kitabnya, membacakan kebenaran Tuhan

Belum selesai monolognya,

Lampu sorot dimatikan dan tirai panggung diturunkan

Lantaran teater itu telah banjir

Oleh muntahan para penonton

Muak melihatnya, berlakon menjadi Tuhan.

Ukuran kakinya tiga puluh lima.

Terlampau kecil untuk sepatu kaca itu

Tapi sangat manis untuk ukuran wanita oriental

Tidak perlu diikat paksa untuk memamerkan jelitanya.

Oh, andaikan kau tahu betapa inginnya ia memakai sepatu kaca itu.

Yang sebening air mengalir dan bunyinya tok, tok, tok

Membuat iri wanita bersepatu manolo blahnik atau jimmy choo.

Dan kalau dia memakainya

Tentu dia akan berdansa dengan pangeran tertampan di pesta.

Bukan terpuruk berbasa-basi dengan tamu-tamu lain.

Malam menyelimuti angkasa dan sepatu kaca masih tergolek cantik di peraduannya.

Dingin dan angkuh pesonanya memancar

Melonjakkan gairah dan menyirap nafas

Betapa ingin ia meraih

Dan membungkus kaki mungilnya dalam pelukan megah

Sepasang sepatu kaca.

For a dearly sister with the smallest beautiful feet

Thursday, January 19, 2006

Pemakaman semu.

Minggu, 15 hari sebelum Rabu ini
Awan hitam berarak mengantar kepergiannya
Misa Requiem telah disiapkan
Kidung pedih yang menyayat hati berkumandang
Sehingga barisan awan hitam pun mulai menangis
Pemakaman sebuah mimpi.
Gelap dan suram
Dingin dan murung
Semua yang hadir sendu berbalur lara
Di kejauhan kau tetap geming dalam senyum tipismu.
“aku tahu dia belum mati, dia eterna. Sang abadi” bisikmu lirih.

15 hari lalu sejak kutinggalkan semua mimpi
15 hari lalu sejak aku terjaga dari buaian panjang
Bangunku dalam keringat penantian
Letih meremuk semua harap hati
Kopi pahit logika telah mengepulkan harumnya
Dan hanya dalam dua tiga reguk saja aku bangun sempurna
Rambut dan pakaianku pun masih kusut menindih dan tertindih acak
Dalam wangi embun pagi yang lembab terasa sesak menggumpal di dada
Dan matahari yang belum utuh belalaknya
kupergi meninggalkan kepulan debu-debu asa yang menumpuk.
biarlah debunya menempel di rumah itu
Di sisi tersepi cintaku padamu
Ketika kafein kopi pahit logika habis
Ku’kan kembali pulas tertidur disana
15 hari lalu dan entah kapan
Entah kau jemput atau aku yang pulang.

Friday, December 09, 2005

Suatu senja
Ketika matahari telah lelah
Dan hanya sanggup memancarkan seserpih cahaya temaram
Yang menorehkan semburat rona jingga keunguan pada paras bumi
Lahirlah si anak ombak
Wajahnya berbuih dan tubuhnya bergelombang
Pelan-pelan dengan berjingkat kecil
diikutinya ibu ombak berlari menuju pantai
“cihuuyy…yuhuuu…” serunya girang
Bertemu dengan ayahnya pasir pantai
Namun setelah berciuman sejenak di bibir pantai
Dengan sapuan pelan mundurlah ibunya
Kembali menuju lautan luas
Pula menarik tangan anak ombak
Yang sontak menangis masih rindu pada ayahnya
“jangan merengek…” bisik ibunya pelan
Dan ketika rengek tangisnya berhenti
Laut mengayun ibu dan anak ombak itu kembali lagi pada ayahnya
“cihuuyy…hore!!
Sebentar bertemu ayahnya, lalu mundur lagi
“aku mau kembaliiiii…” rengeknya lagi
“cihuuyy…hore!!”
“aku mau kembali…”
“cihuuyy…hore!!”
“aku mau kembali…”
Begitu terus…
Sampai sepotong bulan bulat dan bintang maha terik muncul
Dengan selimut beludru hitam langit
Ibu dan anak ombak masih berlakon
Pasir pantai masih menunggu.
“cihuuyy…hore!!”

Tuesday, December 06, 2005

Dalam pekat beludru malam, bermodalkan terik sebuah bintang biru kecil kutuliskan sekali lagi tentang cintaku yang mengalir tiada mengenal hulu padamu.
Dalam kepulan asap rokok kretekmu akan selalu kurindu lembut parasmu yang mulai tergores oleh jejak waktu yang terus merentang tak kenal istirahat. Seolah mengingatkan akan lama hadirmu di alam ini hampir 29 tahun lamanya.
Dunia masih terus menghantammu, mengayunkan tangan kekarnya menghancurkan impian yang telah kau bangun dengan payah dan harapan. Pelan namun pasti masih kau punguti terus remahnya sebagai modal ulang mimpimu.
Meski tak dalam hitungan detik sekalipun kudengar helaan nafasmu, yang entah kamu begitu tabah dan sabar atau mulutmu sibuk bercerita dan menghisap asap kretek yang belum membubung.
Semilir angin lembut mengelus punggungku, masih kudengar semua beban yang memperlambat pacuanmu. Senyum lirih masih tetap tersungging diselanya. Tak pelak tanganku meraih tanganmu seolah mencoba mengangkat beban itu dan mencari intisari dirimu yang terkukung dipagarinya.
Sesaat kutemukan ia yang lemah dan berkata “betapapun aku mencintaimu, kehidupan yang melahirkanku menuntutku berjalan sendiri dan tidak menyeretmu dalam pusarannya”
Kejutku menarik diri dan mundur selangkah. Dunia nyata memanggilku untuk kembali menyusuri setapak jalanku yang bukan jalanmu. Sempat kusesali hadirku yang terlambat 5 tahun.
“jangan cintai aku” gamang suaranya masih terdengar
Malam kian melarutkan dirinya bersama waktu dan lelah semakin mencengkram tubuh tipismu. Sejenak kupandang ragamu yang masih seperti biasa tanpa membiaskan memar dan lebam yang ada dalam jiwamu.
“pulanglah…tak ada lagi yang dapat menenangkan, dalam kesendirianku, aku bebas meniti jalanku”
Bungkam tubuhku melepas jiwa yang tak mau mengerti dan terus menggandeng tanganmu kemanapun kamu berjalan. Di tubuh yang tak bisa mengerti aku hanya diam, tapi jauh di jiwa kutahu kita bersama bebas dan ketika hari itu tiba, kita akan melesat kencang melebihi bintang maha terang menembus nebula dan mati bersama.
“aku adalah belahan jiwamu, berhenti mencintaimu adalah tak mungkin” bisikku pelan mengiringimu lari menerjang hidup yang siap menerkam dan mencabikmu lagi.

Thursday, December 01, 2005

Remang biru kamar melingkupiku saat kudengar ketukan halus di pintu
Rindu telah datang rupanya. Kuangkat pantat dari lekuk kursi dan kuayun tubuh membuka pintu untuknya.
Aku Rindu, katanya. Aku tahu, jawabku. Setiap hari kita bertemu, berselisih jalan dan saling memandang lantas membuang muka.
Ia pun masuk dan duduk disisi ranjangku membuka tas mengeluarkan sebatang kretek yang berbunyi halus di sela hisapannya.
Dalam kepulan asap yang pecah saat membubung kupandang raut wajahnya yang terdiam
sesak dadaku entah dipenuhi asap atau jantungku memang terpompa cepat berlomba dengan deras pukulan hujan di jendela kamarku.
Dalam rentang waktu yang terus memanjang, dari awal kumengenalinya aku sudah berusaha menjauh.
Terlalu riskan untuk terus bersama menjadi satu
Kupikir selama ini tembok maya itu selalu berdiri antara aku dan dia
Dan melankoli tak akan pernah menyatukan kita.
Kukeraskan hati dengan logika dan fakta namun netra melelehkannya lagi.
Dan cinta terus menghantam tembok maya hingga ia letih tak sanggup berdiri lagi
Dalam tapak tipis yang kujalin dalam perjalanan waktuku
Rindu tak bisa dibendung lagi, ia pun melaju mengalir seperti perahu kecil menyusurinya
Menemukanku.
Memaksaku melihatmu kembali.